Jl. DR. Wahidin Sudiro Husodo No.127, Kebomas, Randuagung, Kec. Gresik, Kabupaten Gresik, Jawa Timur 61121

Periodesasi Sejarah Gresik

Periodesasi Sejarah Gresik
  1. Hindu-Budha

Sejarah Hindu-Budha di Jawa tercatat pada awal masuknya perkembangan Hinduisme dan Budhisme ke Jawa Timur pada pertengahan abad ke-7 Masehi dengan adanya sejarah kerajaan Ho-ling yang menjadi penyebaran agama Hindu pertama di Jawa. Diketahui letak dari kerajaan Hindu pertama di Jawa berada di lembah sungai Berantas Jawa Timur, dikarenakan di area lembah sungai Brantas masih disebut dengan daerah Keling. Dimana sesuai dengan transliterasi dari bahasa China toponim asal Keling.

Sejak pada masa Kerajaan Majapahit di akhir abad ke-14, Gresik masih termasuk kedalam pemerintahan Hinduisme Kerajaan Majapahit dengan diberitakan bahwa masyarakat di sekitar pesisir utara pulau Jawa masih memeluk kepercayaan agama Hindu-Budha.

Nama dari Gresik sendiri baru muncul adanya pada periode Kerajaan Majapahit. Pada prasasti Karang Bogem (Trawulan V) yang di kemukakan oleh Bhre Lasem pada tahun 1387 Masehi, disebutkan bahwa beberapa orang-orang di Gresik dipekerjakan pada bagian perusahaan tambak (perikanan) di Karang Bogem.

Bukti arkeologis di Gresik sendiri adalah adanya temuan prasasti penyeberangan (Ferry Charter) berangka pada tahun 1358 saka, yang menjelaskan mengenai adanya 77 desa penyebrangan atau penambangan (Naditira Pradeca) yaitu Madanten (Bedanten), Wringin Wok (Kali Wot), Bajrapura (Mojopuro) dan keseluruhan desa saat ini masuk pada wilayah Kabupaten Gresik dan letaknya dekat dengan muara sungai Bengawan Solo.

Hal yang sangat menarik di desa Bajrapura (Mojopuro) adalah ditemukannya beberapa tinggalan arkeologis berupa dua arca Dwarapala (gupala) dan satu arca Budha dalam posisi tergolek di permukaan tanah di bawah gerumbul pohon bambu. Keberadaan ketiga arca tersebut telah dicatat oleh sejarawan Belanda pada tahun 1813 Masehi yaitu Dr. Vorderman. Setelah itu, Dr. Knebel juga membuat laporan tentang keberadaan ketiga arca itu pada tahun 1902 Masehi.

Penemuan bukti arkeologis ini mayoritas menyeluruh di seluruh wilayah Gresik, baik itu wilayah pesisir maupun pedalaman. Pada wilayah pesisir ditemukan prasasti pada Goa Butulan Gosari Ujung Pangkah yang bertuliskan tahun 1298 Saka dan Gerabah Gosari Ujung Pangkah Berdasarkan penelitian arkeologi diidentifikasi bahwa Gerabah Gosari dijadikan sebagai komoditas perdagangan dengan kerajaan Singosari dan Majapahit, hal ini dibuktikan dengan adanya temuan yang melimpah di kedua situs kerajaan tersebut, dengan demikian Gresik tidak hanya dikenal sebagai kota Pelabuhan tetapi juga sebagai kota penghasil Gerabah. Pada wilayah pedalaman ditemukan arca Ganesha di Wringinanom yang dikenal sebagai dewa ilmu pengetahuan berkesaktian tinggi.

Pengaruh Hindu-Budha ini tidak hanya pada wilayah Gresik yang terletak di Pulau Jawa saja melainkan juga pada Pulau Bawean. Hal ini didukung dengan ditemukannya bukti arkeologis, seperti:

  1. Arca Mahakala, ditemukan di desa Sawahmulya. Arca ini merupakan penjaga pintu masuk pada candi Hindu biasanya ditemukan berpasangan dengan arca Nandiswara.
  2. Arca Budha perunggu Bawean, ditemukan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta pada tahun 2018. Arca Budha digunakan sebagai sarana peribadatan pemeluk agama Budha. Ikonografi arca Budha Bawean memiliki kesamaan dengan arca Budha Sempaga yakni bentuk bibirnya yang agak tebal.
  3. Stupika tanah liat, ditemukan di desa Sidogedungbatu kecamatan Sangkapura. Stupika merupakan miniatur dari Stupa yang fungsinya adalah sebagai sarana pemujaan agama Budha.

Penyebaran agama Hindu-Budha di Gresik ditandai dengan adanya temuan arkeologis seperti prasasti dan arca di sekitar wilayah Kabupaten Gresik. Perdagangan dan produksi gerabah menjadi bagian penting dari peningkatan ekonomi Gresik pada saat itu.

Pengaruh agama Hindu-Budha juga dapat ditemukan di Pulau Bawean, yang masih termasuk dalam kawasan Kabupaten Gresik, diketahui adanya pengaruh agama Hindu-Budha melalui temuan arkeologis seperti arca dan stupika.

 

  1. Islam

Sebelum masuknya Islam di Kabupaten Gresik, mayoritas penduduk Gresik menganut agama Hindu-Buddha, dengan sebagian besar masih mempercayai aliran Animisme dan Dinamisme. Masyarakat pada masa itu juga memiliki kepercayaan pada barang-barang keramat seperti senjata, yang diyakini membawa keberuntungan dan perlindungan.

Era perkembangan agama Islam di Jawa, pada awalnya masuk di sekitaran pantai-pantai utara pulau Jawa, tepatnya di desa Leran yang terkenal dengan penemuan salah satu nisan dari seorang perempuan Muslimah yang bernama Fatimah Binti Maimun yang diperkirakan ditemukan pada abad ke-11 atau sekitar pada tahun 1082 M atau 475 H.

Kedatangan Islam di Gresik ditandai oleh kedatangan Sunan Maulana Malik Ibrahim, dikenal sebagai Syekh Maghribi atau Sunan Gresik, yang memulai dakwahnya sekitar tahun 1368 M. Metode pengenalan agama Islam di Gresik melibatkan pendekatan sosial dan pendidikan, seperti membantu masyarakat miskin, membangun masjid dan pesantren, serta berdagang dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat setempat.

Sunan Maulana Malik Ibrahim juga melakukan pendekatan kepada kalangan bangsawan, termasuk Raja Majapahit, dengan sifat-sifat terpuji dan bantuan kepada masyarakat. Dia diangkat menjadi Syahbandar (Kepala Pelabuhan) dan berhasil menarik minat kalangan Sudra untuk memeluk agama Islam. Sehingga pada akhir abad ke 14 Maulana Malik Ibrahim resmi diangkat menjadi Syahbandar (Kepala Pelabuhan) di Gresik.

Dampak dari dakwah Sunan Maulana Malik Ibrahim terasa amat kuat, dengan diperlihatkannya perkembangan agama Islam yang cukup pesat di Gresik selama 28 tahun lamanya. Setelah wafatnya Sunan Maulana Malik Ibrahim, perjuangan Islam dilanjutkan oleh para wali lainnya, seperti Sunan Giri.

Maulana Malik Ibrahim wafat pada hari Senin tepat pada tanggal 12 Rabiul Awal 822 H/ 8 April 1419 M di Desa Gapura, Kota Gresik Jawa Timur. Lokasi tersebut, tidak jauh dari pelabuhan Gresik.

 

  1. Kolonial

Gresik telah menjadi kota pelabuhan dan perdagangan sejak abad ke-11 dan telah menjadi tujuan kapal-kapal asing untuk berlabuh. Kapal-kapal tersebut bertujuan untuk melakukan perdagangan. Berbagai etnis baik dari Jawa, Melayu, Arab, Cina, Belanda, dan yang lainnya datang dan bermukim di kawasan Gresik.

Bangsa kulit putih yang pertama datang ke Gresik adalah orang Portugis. Berita tentang adanya sebuah kota Bandar yang Indah di Pesisir Timur Jawa yang telah membuat armada Portugis dibawah pimpinan Antonio de Abreu mendarat di Gresik sekitar tahun 1520 M. Orang-orang Portugis menyebut Gresik dengan Agaze, namun dalam pengucapannya Agacime.

Kala itu, ketika orang-orang Portugis telah sampai di Gresik yang menjadi penguasa di Gresik adalah Sunan Ndalem, yang memerintah sejak tahun 1506-1545 M, menggantikan Prabu Satmoto atau Sunan Giri. Kemudian pada tahun 1522 M, Portugis meninggalkan Gresik.

Belanda datang ke Gresik pada tahun 1598 M dipimpin oleh Jacob Van Heemskerck, pada awalnya mereka datang hanya untuk berdagang. Kemudian pada tahun-tahun selanjutnya Belanda melalui VOC membuat Gresik berada di bawah pemerintahan resident Belanda sejak tahun 1743 M. Kabupaten Gresik pada masa kolonialisme memiliki sejarah yang kaya sebagai pusat perdagangan rempah-rempah dan pelabuhan yang menarik bagi pedagang lokal maupun asing.

Kota tua Bandar Grissee merupakan titik awal berdirinya VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) atau Persatuan umum Persekutuan Dagang Hindia Belanda yang didirikan di Amsterdam –Negeri Belanda- pada bulan Maret tahun 1602 M. Selama 197 tahun, VOC telah berada di Gresik. Mulai ketika zaman pemerintahan Panembahan Kawis Guwo (1601-1614 M) di Giri Kedathon, tepatnya pada tahun 1603 M, VOC mendirikan kantor dagang di Gresik, tepatnya di kota Bandar Grissee sebagai pusat perdagangan dan pertahanan. VOC, sebagai tempat perdagangan, memonopoli perdagangan dan merasa memiliki otoritas atas pemerintahan lokal. Namun, kejujuran dan kondisi ekonomi yang tidak stabil di bawah pemerintahan Belanda menyebabkan ketidakpastian, terutama setelah monopoli hasil garam.

Benteng Lodewijk, dibangun oleh Daendels pada tahun 1808 M di ujung timur muara sungai Bengawan Solo, dekat dengan Pulau Mengare. Catatan kolonial menyatakan bahwa Benteng Lodewijk berjarak 6 mil dari Gresik dan 5 mil dari pelabuhan Ujung Pangkah, Sidayu. Benteng ini digunakan untuk menghalau pasukan Inggris yang ingin merebut Tanah Jawa dari tangan Bangsa Belanda, pasukan Inggris yang datang dari arah laut Jawa.

Pada tahun 1811 M, puluhan armada Inggris posisi siap menyerang, dan secara tiba-tiba sudah mengepung perairan Gresik. Sejak saat itu Inggris secara resmi berkuasa penuh atas Jawa bagian pesisir melalui sebuah kesepakatan Perjanjian Kapitulasi Tuntang yang ditandatangani pada 11 September 1811 M oleh S. Auchmuty dari pihak Inggris dan Gubernur Jenderal Janssens dari pihak Belanda yang telah menggantikan Daendels.

Pemberian nama Lodewijk pada bangunan Benteng tersebut untuk menghormati Louis Bonaparte sebagai orang yang mengangkat Daendels menjadi Gubernur Jenderal di Hindia-Belanda. Bangunan Benteng Lodewijk dibangun diatas endapan lumpur yang menjorok ke Selat Madura dan berjarak sekitar 1400 yard dari Pulau Mengare.

Gardu Suling, disebut juga Garling merupakan bangunan menara tua yang berada di Bandar Grissee. Gardu ini mengeluarkan suara sirine yang sekilas mirip suling, oleh karena itu disebut dengan Gardu Suling. Gardu suling dibangun tahun 1929 oleh Kitty Soesman, seorang kepala Aniem (saat ini disebut dengan PLN) sebagai tempat penyimpanan trafo listrik.

Ketika Jepang datang, masyarakat menambahkan Sirine sebagai pertanda adanya penjajah masuk dari darat, udara, maupun laut yang menyerang Gresik. Ketika masa perang dahulu, jika sirine berbunyi maka masyarakat Gresik diminta untuk mencari tempat berlindung. Setelah masa penjajahan, tepatnya setelah merdeka, Gardu Suling difungsikan sebagai penanda berbuka puasa, selain itu pada hari biasa, Gardu Suling juga digunakan untuk pengingat ibadah sholat Jum’at.

Selain perdagangan rempah-rempah, Gresik juga menjadi pusat eksplorasi minyak bagi Belanda dan produksi senjata. Peninggalan kolonial seperti Benteng Lodewijk dan Gardu Suling mencerminkan adanya era kolonial di Gresik, dengan benteng tersebut digunakan untuk pertahanan terhadap serangan Inggris dan Gardu Suling sebagai penanda dan alarm bagi masyarakat terhadap ancaman penjajahan.

Pada masa penjajahan Jepang, Gardu Suling memiliki fungsi tambahan sebagai peringatan terhadap serangan musuh. Setelah kemerdekaan, peran Gardu Suling berubah menjadi penanda waktu berbuka puasa dan pengingat ibadah sholat Jum'at.

 

  1. Sejarah Gresik

Pelabuhan Gresik telah menjadi pusat perdagangan yang penting sejak abad ke-14, sebelum pendirian Giri Kedaton, dan terus berkembang di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Pelabuhan ini menjadi salah satu yang terbesar dalam perdagangan lokal, regional, dan internasional, berkat stabilitas pemerintahan Majapahit di bawah Maharaja Sri Rajasanegara, yang dikenal juga sebagai Raja Hayam Wuruk. Kombinasi komoditas dagang dan lokasi strategis di jalur perdagangan menjadikannya destinasi utama bagi pedagang.

Pada pertengahan abad ke-14, Gresik memiliki keunggulan geografis dengan dilindungi oleh Selat Madura dan Delta Bengawan Solo, memberikan perlindungan dari cuaca buruk bagi pelabuhan tersebut. Catatan Dinasti Ming pada tahun 1368 M mengkonfirmasi keberadaan Pelabuhan Gresik di Jawa, disebut sebagai Sin-ts’un. Maulana Malik Ibrahim, seorang ulama Islam yang menyebarkan agama di Nusantara, tiba di Gresik pada 1371 M.

Ketika Gresik menjadi bagian dari Kerajaan Majapahit pada tahun 1387 M, administrasi perdagangan diberikan kepada Syahbandar yang beragama Islam. Maulana Malik Ibrahim, dikenal juga sebagai Syeikh Maghribi atau Sunan Gribig, diangkat sebagai Syahbandar pertama. Pengangkatan ini dipengaruhi oleh mayoritas pedagang Muslim di pelabuhan. Maulana Malik Ibrahim memainkan peran penting dalam perdagangan dan penyebaran Islam di daerah tersebut.

Setelah wafatnya Maulana Malik Ibrahim, posisi Syahbandar diambil alih oleh Raden Ali Hutomo atau Raden Santri, yang kemudian diikuti oleh Nyai Ageng Pinatih. Mereka berdua berhasil memperluas perdagangan dan memperkuat pengaruh Islam di Gresik.

Kemudian, Gresik menjadi basis Islam selama masa Kerajaan Giri. Sunan Giri, atau Prabu Satmata, mendirikan Kerajaan Giri Kedaton sekitar tahun 1481 M. Sunan Giri mengembangkan Islam dengan menggabungkan unsur budaya Islam ke dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam pendidikan dan kebudayaan. Gresik berkembang menjadi pusat perdagangan yang ramai di bawah kepemimpinan Sunan Giri.

Setelah Sunan Giri, kepemimpinan di Kerajaan Giri dilanjutkan oleh putranya, Pangeran Zainal Abidin, atau Sunan Dalem, dan kemudian oleh Sunan Prapen. Sunan Prapen mengembangkan kekuasaan Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah serta meluaskan pengaruhnya hingga ke beberapa wilayah di Nusantara Timur.

Namun, kemudian Gresik mengalami kemunduran akibat penetrasi kapitalisme Belanda melalui VOC pada awal abad ke-17, yang secara signifikan mempengaruhi perdagangan di pelabuhan tersebut.


Related Posts


Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan di publikasikan. Inputan yang wajib di isi ditandai *