Jl. DR. Wahidin Sudiro Husodo No.127, Kebomas, Randuagung, Kec. Gresik, Kabupaten Gresik, Jawa Timur 61121

WBTb ( Warisan Budaya Takbenda)

 

Damar Kurung adalah sejenis lampion, pelita atau lentera khas Gresik, Jawa Timur. Jadi secara harfiah, Damar Kurung adalah lampu (damar, Bahasa Indonesia) yang dikurungi. Tetapi yang menarik adalah motif lukisan gambar unik yang menghiasi keliling Damar kurung tersebut. Di samping itu memajang Damar Kurung di depan rumah setiap bulan Ramadan menjadi tradisi masyarakat setempat, demikian juga tradisi arak-arakan membawa Damar Kurung setiap menjelang bulan Ramadan.

Konon Damar Kurung merupakan metamorphosis dari Wayang Beber. Motif lukisan Damar Kurung lebih condong ke gaya lukis era Sunan Prapen yang gaya lukis dari serat babad Sindujoyo. Atau juga mirip motif kain batik dan kain tenun dari Sasak Nusa Tenggara Barat. Namun dalam perkembangannya menjadi gaya lukisan tersendiri yang naif dan naratif atau seperti kekanak-kanakan.

Awalnya pembuatan Damar Kurung memanfaatkan kertas minyak dan pewarna, kemudian beralih memakai kanvas dan cat minyak. Perubahan alat dan bahan Damar Kurung diperkenalkan oleh pelukis modern Imang A.W. Banyak anggapan bahwa Damar Kurung diadopsi dari lentera Tionghoa, namun sebenarnya Damar Kurung lebih condong ke lentera Jepang. Lentera Jepang yang lebih mirip dengan Damar Kurung tersebut bernama Toro, yang artinya lentera dengan kerangka. Lukisan Damar kurung yang diciptakan mempunyai makna dan tujuan, dan itu lebih ditujukan kepada yang masih hidup. Damar Kurung menggambarkan kehidupan sehari – hari masyarakat Gresik, seperti bertani, nelayan dan kegiatan – kegiatan keagamaan.

Pembuat Damar Kurung terakhir di Gresik adalah Sriwati Masmundari atau Mbah Ndari (Januari 1904 – 25 Desember 2005). Sulung dari 4 bersaudara ini memiliki kemampuan melukis yang diturunkan oleh Sang Ayah yang lebih dikenal sebagai seorang dalang. Sepeninggal ayahnya, Mbah Masmundari memanfaatkan kemampuan melukisnya untuk mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari. Awalnya, Ibu Masmundari menggunakan cat roti atau pewarna makanan dan sisa sisa cat. Dari kombinasi yang sederhana itulah lahir sebuah karya bernama Damar Kurung.

Mbah Ndari yang semula tinggal di desa Lumpur Gresik, setiap menjelang bulan Ramadhan, menjajakan Damar Kurung buatannya di sekitar trotoar pasar Gresik. Dalam setiap karyanya, ia berusaha menyampaikan situasi social yang tengah berkembang dari pengamatan dan refleksinya sendiri. Gambar – gambar yang ada di setiap sisi Damar Kurung kebanyakan menceritakan tentang kegiatan sehari – hari masyarakat Gresik, seperti pasar malam, kondisi pasar, dan kebudayaan masyarakat setempat. Kesenian ini juga penuh dengan makna dan symbol keagamaan yang dimunculkan kental dengan kehidupan religi. Adanya penggambaran tentang orang sholat, mengaji, kesenian – kesenian yang bernuansa islami seperti hadrah dan qosidah dan sebagainya. Kebanyakan pembeli adalah anak – anak kecil. Hal itu dikarenakan lukisan Mbah Masmundari lebih bersahabat dengan dunia anak – anak. Di samping itu, memang anak – anak sekolahlah yang suka membawa – bawa Damar Kurung dalam arak – arakan atau sebagai kebanggaan tersendiri saat bermain bersama teman – temannya.

Pada tahun 1980-an, Mbah Masmundari mulai aktif melukis hingga pada tahun 1987 Bentara Budaya Jakarta menjadi saksi dari Pameran Perdana Beliau, disusul dengan pameran – pameran berikutnya. Popularitas Damar Kurung mencapai puncaknya ketika Damar Kurung tidak hanya difungsikan sebagai benda pakai (lampion) namun dilakukan diversifikasi dalam bentuk lukisan Damar Kurung, yang dipamerkan dalam pameran kukisan di berbagai tempat di Bentara Budaya Jakarta, Hotel Hyatt Surabaya, Dewan Kesenian Surabaya, Balai Sidang Senayan Jakarta, Hotel Tugu Park Malang, Hotel Mirama Surabaya, Hotel Radison Plaza Suite Surabaya dan di Gedung Pertamina Surabaya serta sejumlah pameran bersama pelukis lain.

Masmundari pun mendapatkan sejumlah penghargaan, antar lain:

1.     Piagam Penghargaan dari Bupati Gresik sebagai Seniman Berprestasi Nasional (1991)

2.     Kartini Award dari Radison Plaza Suite Hotel (1996)

3.     Penghargaan Seni Tahun 1991 dari Tugu Park Foundation

4.     Penghargaan dari Gubernur Imam Utomo sebagai Seniman Kreator Bidang Seni Rupa      (2002)

Tradisi masyarakat Desa Gumeno, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik yang dilaksanakan di setiap malam 23 Ramadhan. Tradisi ini awal mulanya adalah berawal dari Sunan Dalem yang sakit (Putera Sunan Giri), mendapat petunjuk mencari seekor ayam jago untuk dimasak dengan santan kelapa, jinten, gula merah dan bawang daun. Nama Sanggring berasal dari kata Sang yang artinya Raja/Penggedhe dan Gring yang artinya gering atau sakit. Jadi Sanggring artinya raja yang sakit. Akhirnya tradisi tersebut terus berlanjut hingga saat ini yaitu menyediakan masakan yang kemudian disebut Sanggring atau Kolak Ayam ribuan piring banyaknya untuk berbuka puasa bersama (takjil) di masjid Jami’ Sunan Dalem. Cara memasaknya pun  tetap menggunakan tungku dan kayu bakar. Pembuat kolak ayam semuanya adalah orang laki-laki tanpa ada seorangpun perempuan yang ikut membuat kolak ayam.

Okol Desa Setro merupakan karya budaya dari Kabupaten Gresik yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia pada tahun 2021. Okol Desa Setro masuk ke dalam domain adat istiadat, ritus dan perayaan – perayaan. Sejarah Okol berasal dari ratusan tahun yang lalu (kisaran tahun 1817an) dimana saat itu Desa Setro dilanda musim kemarau panjang sehingga ladang petani menjadi kering dan tumbuhan banyak yang mati, bahkan hewan ternak pun kesulitan mencari makan. Kemudian pemimpin desa mengadakan doa bersama supaya turun hujan. Beberapa hari kemudian hujan datang, warga desa senang sekali bisa kembali bercocok tanam karena ladang mereka tidak kering lagi dan lahan pertanian merekapun subur dengan hasil yang sangat memuaskan. Pada saat panen tiba, warga mengadakan syukuran atau selamatan dan secara spontan karena rasa gembira, para gembala saling berpelukan dan mendorong (nyrokol / srokol-srokolan / sruduk-srudukan, dalam bahasa Jawa) di atas jerami / damen hasil panen itu dengan maksud meluapkan kegembiraan atas hasil panen yang melimpah ruah dan bersyukur kepada Tuhan YME atas segala karunia tersebut. Kata srokol-srokolan atau nyrokol tersebut lebih dikenal warga dengan sebutan Okol. Dan warga Desa Setro menjadikannya sebagai tradisi hingga sekarang. Peserta Okol Desa setro berasal dari anak – anak, pemuda – pemudi, bapak – bapak dan ibu – ibu dari Desa Setro sendiri dan juga dari luar desa, bahkan dari luar Kabupaten Gresik.

 

adalah makanan khas kota Gresik. Makanan ini merupakan campuran dari nasi dan daging sapi dengan kadar minyak yang termasuk tinggi. Krawu menurut cerita berasal dari kata “krawukan“, artinya ambil nasi atau lauk dengan jari tangan langsung, tanpa alat bantu sendok atau lainnya.

Nasi krawu Gresik mirip dengan Nasi Langgi, yang khas kota Solo, sama-sama didominasi unsur daging. Bahkan lauk utama nasi krawu adalah daging dan jerohan sapi yang dimasak semur. Disajikan di atas daun pisang, nasi krawu dimakan bersama daging sapi yang disuwir-suwir, jerohan dengan sambal terasi pedas pekat, dipadu sambal dari parutan kelapa yang biasa disebut srundheng.

Srundheng terdiri dari tiga macam. Yaitu krawu, abon dan mangot. Krawu berwarna merah pedas, abon berwarna kuning berasa manis. Sedangkan mangot adalah kelapa tidak diparut tetapi ditumbuk dicampur kluwak, rasanya gurih.

 

 


Related Posts


Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan di publikasikan. Inputan yang wajib di isi ditandai *